Gebrakan Ignatius Jonan direktur PT KAI. Dia menyebalkan seluruh perokok, karena sejak awal tahun ini dia melarang merokok di kereta api. Bahkan di kelas ekonomi yang tidak ber AC sekali pun! Bayangkan betapa besar gejolak dan resistensi yang timbul.
Tidak lama kemudian dia pun mengeluarkan kebijakan yang sangat sensitif: tidak boleh ada asongan yang berjualan dengan cara masuk ke gerbong-gerbong kereta api. Belum lagi reaksi reda, muncul instruksi Bapak Presiden agar kiri-kanan jalan kereta api ditertibkan. Ini sungguh pekerjaan yang berat. Dan makan perasaan. Lahir dan batin. Tapi Jonan, dengan cara dan kiat-kiatnya, bisa melaksanakan instruksi tersebut dengan bijaksana.
Banyak orang yang dulu hobinya berdiri di pintu KA (seperti kebiasaan saya di masa remaja), tidak bisa lagi meneruskan hobinya itu. Reaksi keras atas kebijakannya ini sungguh luar biasa.
Mengapa?
Kebijakannya kali ini ibarat belati yang langsung mengenai ulu hati orang dalam sendiri. Di sinilah tantangan terberat Jonan. Tidak lagi dari luar atau dari penumpang, tapi dari jaringan ilegal orang dalam sendiri. Jaringan yang sudah turun-temurun, menggurita, beranak-pinak, dan kait-mengait.
Marahnya orang luar bisa dilihat, tapi dendamnya orang dalam bisa seperti musuh dalam selimut: bisa mencubit sambil memeluk. Orang Surabaya sering mengistilahkannya dengan hoping ciak kuping: sahabat yang menggigit telinga.
Peristiwa karcis ganda, penumpang tidak dapat tempat duduk, harga karcis yang jauh di atas tarif, kursi kosong yang dibilang penuh, dan ketidaknyamanan lainnya, pada dasarnya, ujung-ujungnya adalah permainan jaringan yang sudah menggurita itu.
Berbagai cara untuk menyelesaikannya selalu gagal. Spanduk “berantas calo!”, “tangkap calo!”, dan sebangsanya sama sekali tidak ada artinya. Seruan seperti itu hanyalah omong kosong. Jonan tahu: teknologilah jalan keluarnya. Tapi teknologi juga harus ada yang menjalankannya. Dan yang menjalankannya harus juga manusia. Dan yang namanya manusia, apalagi manusia yang lagi marah, ngambek, jengkel dan dendam, bisa saja membuat teknologi tidak berfungsi.
Tapi Jonan sudah menaikkan gaji karyawannya. Sudah memperbaiki kesejahteraan stafnya.
Seperti juga terbukti di PLN, orang-orang yang mengganggu di sebuah organisasi sebenarnya tidaklah banyak. Hanya sekitar 10 persen. Yang terbanyak tetap saja orang yang sebenarnya baik. Yang mayoritas mutlak tetaplah yang menginginkan perusahannya atau negaranya baik.
Hanya saja mereka memerlukan pemimpin yang baik. Bukan pemimpin yang justru membuat perusahaannya bobrok. Bukan juga pemimpin yang justru menyingkirkan orang-orang yang baik. Jonan yang sudah meninggalkan kedudukan tingginya di bank asing, bisa menjadi pemimpin yang tabah, tangguh, dan sedikit ndablek.
Di PT Kereta Api Indonesia pun sama: mayoritas karyawan sebenarnya menginginkan kereta api berkembang baik dan maju. Buktinya, langkah-langkah perbaikan yang digebrakkan manajemen akhirnya bisa dijalankan oleh seluruh jajarannya. Bahwa ada hambatan dan kesulitan di sana-sini, adalah konsekwensi dari sebuah organisasi yang besar, yang kadang memang tidak lincah untuk berubah. Tapi organisasi besar KAI, dengan karyawan 20.000 orang, ternyata bisa berubah relatif cepat.
Transformasi di PT KAI sungguh pelajaran yang amat berharga bagi khasanah manajemen di Indonesia.
Lebaran tahun 2012 ini, harus dicatat dalam sejarah percaloan di Indonesia. Inilah sejarah di mana tidak ada lagi calo tiket kereta api. Semua orang bisa membeli tiket dari jauh: dari rumahnya dan dari ratusan outlet mini market di mana pun berada. Orang bisa membeli tiket kapan pun untuk pemakaian kapan pun. Orang pun bisa melihat di komputer masing-masing, kursi mana yang masih kosong dan kursi mana yang diinginkan. Orang juga bisa melihat kereta yang mereka tunggu sedang di stasiun mana dan kereta itu akan tiba berapa menit lagi.
Naik kereta api juga harus menggunakan boarding pass. Setiap penumpang akan diperiksa apakah nama yang tertera di tiket sama dengan nama yang ada pada ID si penumpang.
Dengan cara ini, bukan saja orang tanpa tiket tidak bisa masuk kereta, yang dengan tiket pun akan ditolak kalau namanya berbeda. Persis seperti naik pesawat.
Dengan cara ini, memang praktis tidak memberi peluang calo untuk beroperasi. Tapi jasa membelikan tiket bisa saja tetap hidup, bahkan berkembang dengan legal.
Dengan gebrakan terakhir ini, jumlah penumpang kereta api menurun. Tapi, anehnya, dalam keadaan jumlah penumpang menurun, penghasilan kereta api naik 110 persen!
Tentu masih banyak yang harus dilakukan. Program kereta ekonomi ber-AC, tempat turun penumpang yang kadang masih di luar peron (sehingga harus loncat dan terjatuh), membuat kereta lebih bersih lagi, mengurangi kerusakan, mempercantik stasiun, dan menata lingkungan di sekitar stasiun adalah pekerjaan yang juga tidak mudah.
Toilet-toilet juga akan banyak diubah dari toilet jongkok menjadi toilet duduk. Selama ini wanita yang mengenakan celana jeans mengalami kesulitan dengan toilet jongkok. Gaya hidup penumpang kereta memang sudah banyak berubah sehingga pengelola kereta juga harus menyesuaikan diri.
Kini banyak sekali penumpang yang merasa nyaman di KA: charger HP sudah tersedia di semua kursi. Kompor gas di kereta makan tidak ada lagi. Toilet-toilet di stasiun sudah lebih bersih (bahkan di beberapa stasiun sudah lebih bersih daripada toilet di bandara).
Perbaikan manajemen ini akan mencapai puncaknya 18 bulan lagi: saat jalur ganda kereta api Jakarta-Surabaya selesai dibangun. Di pertengahan 2014 itu, di jalur Jakarta-Surabaya memang belum ada Sinkansen, tapi harapan baru kereta yang lebih baik sudah di depan mata!
Sumber: Vivanews.com
0 comments:
Post a Comment